Belanda (bahasa Belanda: Koninkrijk der Nederlanden, secara harfiah berarti “Kerajaan Tanah-Tanah Rendah”) adalah sebuah negara di Eropa bagian barat laut. Di sebelah timur negara ini berbatasan dengan Jerman, di sebelah selatan dengan Belgia, dan di sebelah barat dengan Laut Utara. (wikipedia)
Sebagai salah satu negara yang pernah menduduki Indonesia selama 350 tahun, secara langsung dan tidak langsung ciri arsitektur Indonesia terpengaruh oleh ciri arsitektur Belanda. Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sampai sekarang masih banyak mendominasi pemandangan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya sebagai tempat saya hidup 23 tahun ini.
Sebenarnya saya ingin berbagi cerita tentang arsitektur kolonial di Indonesia ini, sampai mulut berbusa pun saya siap. Tapi pembaca yang budiman sepertinya akan tertidur ditengah saya bercerita, karena itu cerita kali ini saya fokuskan pada kota Surabaya tercinta ini.
Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, kota kelahiran saya -Surabaya- berkembang pesat sekali. Namun terdapat permasalahan dan kegagalan di dalam perencanaan pembangunan kota dan arsitekturnya. Hal ini dikarenakan perencanaan yang tanpa memperhatikan perkembangan kota dan arsitektur masa lalu. Tata kota jika kita melihat dari atas, terlihat seperti benang ruwet.
Lantas apa kita harus menyalahkan masa lalu?
Yang menjadi tanggung jawab kita saat ini adalah, bagaimana memperbaiki tata kota kita, bagaimana menyelamatkan cagar budaya kita agar tidak musnah dimakan modernisasi. Mengobservasi negara yang memiliki tata kota teratur seperti Belanda, agar dapat kita jadikan panutan dalam menata kota ini.
Pada sisi arsitektur sebelum tahun 1900-an di Hindia Belanda sering disebut sebagai “Empire Style” (gaya imperial) yang dipopulerkan oleh Daendels-daendels (Daendels sebagai pimpinan Belanda jaman penjajahan dulu namanya begitu melekat di otak dari jaman sd, setiap kumpeni yang gag apal namanya akan saya sebut sebagai Daendels aja yah..hehe), pada akhir abad ke-19.
Salah satu bangunan bergaya “Empire Style” di Surabaya adalah gedung “Grahadi” yang saat ini menjadi rumah kediaman gubernur Jawa Timur. Gedung Grahadi ini terletak di Jalan Pemuda, tepatnya di sebelah sekolah saya yang penuh kenangan, yaitu SMA 6 Surabaya yang populer disebut Smunam saja.
Bagaimana kokoh dan sombongnya bangunan gedung Grahadi ini sehingga hanya seorang pemimpin yang sanggup menempati. Saya yakin 99,9% dari yang baca ga tau, siapakah arsitek dari Gedung Grahadi ini. Tenang, sebagai pihak yang baru tau saya akan bagi informasi… hehe… ternyata arsiteknya adalah G.C Citroen (another deandels).
Ciri-ciri dari “Empire Style” ini bisa dilihat dari penggunaan banyak gevel pada bagian depannya, warna dominan putih, atap datar, penggunaan pilar-pilar pada pintu masuk atau tempat strategis lainnya serta volume bangunan yang berbentuk kubus.
Dalam sejarah perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia, salah satu bangunan yang dirancang oleh arsitek profesional yang terkenal dengan gaya Empire Style pada sekitar tahun 1900-an adalah gedung “Nederlandsch Indische Spoorweg Mij” yang saat ini dikenal dengan sebutan Gedung Lawang Sewu.
Kemudian, bangunan yang sampai saat ini menjadi tempat favorit untuk berfoto a-la noni-noni Belanda yaitu gereja Katholik dikawasan Kepanjen.
Bangunan ini berlanggam Neo Gothic yang merupakan langgam khas arsitektur Eropa dengan ciri khas ruang membentuk busur, kolom dan kuda-kudanya menjadi satu. Atap-atapnya membentuk kubah disertai pilar-pilar tinggi. Batu bata yang menempel di tembok disusun telanjang tanpa dilapisi semen. Jika dilihat dari atas, bangunan tersebut berbentuk salib. ( nah yang melihat dari atas ini siy belum saya buktikan..hehe)
Foto Gedung BII di Jalan Veteran
Mempelajari gaya arsitektur Belanda di Indonesia tentu lebih terasa komplit bila bisa datang ke negara kincir angin tersebut. Melihat teknologi yang ada. Mengagumi bangunan-bangunan tua serta bangunan modern yang ada. Mempelajari nilai-nilai budaya yang tentu berbeda dengan budaya timur.
Ibarat seorang anak kampung yang ingin mendapatkan tiket mempelajari ruang dan waktu globalisme dunia.
Kenali sejarah kota ini dengan langsung menyeburkan diri pada sumber yang ada. Bagaimana keindahan arsitekturnya, kebebasan masyarakatnya, apakah penduduknya seramah “orang timur”, bagaimana rupa kanal-kanal yang ada hingga mendapat sebutan ” The Venice North”, bagaimana bentuk bangunan tua yang berumur 300-400 tahun disana, bagaimana ruang Musium Gogh dimana tersimpan lukisan-lukisan Van Gogh yang terkenal itu.
Ada image menarik yang sangat saya sukai, yaitu “Amsterdam in purple” .
Laat me de ruimte, tijd en uw uiterlijk, zodat ik kan laten zien hoe ik ben verlangen naar de afmetingen van uw
Sumber informasi: – ingatan jaman kuliah dolo, http:// wikipedia.com , http: google.com , http://google.com/image